Selasa, 07 Desember 2004

Perjuangan Penegakkan Syariat Islam Tantangan di Era Pemerintahan Baru

Oleh: Arief B. Iskandar

Perjuangan penegakkan syariat Islam di Tanah Air boleh dikatakan selalu mengalami pasang-surut; baik pada zaman Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi.

Namun demikian, selama tetap dalam kerangka sistem sekular, pergantian orde, yang antara lain dicirikan dengan pergantian rezim di pusat kekuasaan, sesungguhnya tidak terlalu banyak mempengaruhi perjuangan penegakkan syariat Islam. Artinya, perjuangan penegakkan syariat Islam akan tetap menghadapi tantangan yang berat, tak terkecuali dalam Orde Reformasi ini. Kita melihat bahwa pergantian rezim dari Habibie ke Gus Dur, dari Gus Dur ke Megawati, dan dari Megawati ke Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak banyak berpengaruh pada tantangan perjuangan penegakkan syariat Islam. Bahkan pada masa pemerintahan SBY, perjuangan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam di bumi pertiwi ini boleh jadi akan semakin berat. Masalahnya bukan semata-mata terletak pada figur SBY yang sekular, tetapi lebih pada semakin kokohnya ideologi sekularisme mengcengkeram kaum Muslim di berbagai lini kehidupan.

Secara sederhana, tantangan perjuangan penegakkan syariat Islam di era pemerintahan baru, yang masih bermuara pada sekularisme ini, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Bidang Pemikiran Keagamaan: Menguatnya Liberalisasi Islam.

Dalam bidang ini, kita melihat semakin gencarnya kalangan Islam Liberal mengupayakan liberalisasi Islam, melakukan desakralisasi al-Quran, dan menjungkirbalikkan hukum-hukum Islam.

Luthfi Asy-Syaukanie, salah seorang motor JIL pernah menyebut dengan jujur empat agenda utama lahirnya Islam Liberal: Pertama, agenda politik. Kaum Muslim, misalnya, “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Kedua, agenda pluralisme. Kelompok ini menyerukan bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada monopoli truth claim (klaim kebenaran). Ketiga, agenda emansipasi wanita. Digencarkanlah wacana kesetaran jender dan penyamarataan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali. Keempat, agenda kebebasan berekspresi. Diopinikan hak untuk mengekspresikan perilaku tanpa harus dibatasi oleh norma-norma yang ada dengan alasan HAM.

Upaya desakralisasi al-Quran juga tetap akan terus berlangsung. Yang paling mutakhir adalah upaya kalangan Islam Liberal untuk memasarkan gagasan Nasr Hamid Abu Zaid yang memproklamirkan al-Quran sebagai produk budaya, bukan wahyu Allah. Karena dianggap produk budaya, mereka pada akhirnya lebih suka meminjam metodologi hermeneutika ketika menafsirkan al-Quran. Mereka lebih percaya kepada Paul Ricour, Ferdinand de Saussure, Emilio Betti, Michel Foucault, Antonio Gramsci, John Hick, Wilfred Cantwell Smith, dan teman-temannya ketimbang para ulama salaf ash-shalih.

Upaya desakralisasi al-Quran ini jelas dipandang penting oleh mereka, karena ketika al-Quran sudah tidak dianggap sakral (suci), agenda liberalisasi Islam akan semakin mudah diwujudkan di tengah-tengah umat Islam.

Efek lebih lanjut dari upaya di atas tentu saja adalah penjungkirbalikkan hukum-hukum Islam. Yang paling murtakhir adalah upaya yang dilakukan oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag, yang kemudian melahirkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kontroversial itu.


Bidang Pendidikan Islam: dijadikannya Islam Moderat dan Islam Liberal sebagai Arus Utama.

Pasca serangan AS atas Afganistan dan Irak, reaksi anti AS semakin menguat di Dunia Islam. Ini jelas tidak dikehendaki AS. Karena itu, dalam rangka meredam aksi-aksi dan sentimen anti AS di Indonesia, misalnya, AS banyak menguras koceknya untuk ’membeli’ ulama dan ’menciptakan’ ulama palsu. Hal ini terungkap dari buku The CIA at War yang menguak program membeli ulama dan pemimpin Islam dalam menghadapi sentimen-sentimen anti Amerika di Dunia Islam dan Arab. Dalam wawancara pengarang buku tersebut dengan George Tenet (Direktur CIA), ditegaskan bahwa Amerika menemukan ruang untuk melawan gelombang anti AS dengan cara menyuap para ulama atau kyai, menciptakan kyai palsu, dan merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai agen.

AS juga melakukan politik stick and carrot terhadap sejumlah pesantren. Pada 18-28 September 2002 lalu, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga Amerika, mengundang 13 pesantren ‘pilihan’ di Indonesia (dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke AS. Masing-masing juga mendapat bantuan USD 2000.

AS dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal, menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi ‘madrasah-madrasah’ yang menghasilkan para ’teroris’ dan ulama yang membenci Barat.

Pihak AS juga sudah akan membuka pusat-pusat layanan Informasi di berbagai kampus di seluruh Indonesia (sebuah sudah di bangun AS di Univ. Muhammadiyah Malang tahun ini), menyangkut informasi seputar kehidupan bangsa Amerika. Hal yang sama akan mereka lakukan melalui badan penyiaran Internasional AS, yaitu “Voice of America (VoA),” yang akan merintis lebih banyak lagi unit-unit siaran mereka di Indonesia dalam bentuk kerjasama dalam materi pemberitaan dan siaran untuk radio maupun televisi (sudah terjalin, antara lain, dengan Metro-TV) di seluruh Indonesia.

Bidang Politik: dijadikannya Tokoh dan Partai Islam sebagai ’alat pemukul’ Gerakan Pro-Syariat.

Meski tidak pernah menjadi pemenang dalam setiap Pemilu, keberadaan partai-partai Islam di lembaga legislatif tetap memiliki posisi daya tawar yang tinggi. Fenomena politik mutakhir bahkan menunjukkan bagaimana partai Islam bisa mendudukkan salah seorang tokohnya di kursi tertinggi MPR. Lebih dari itu, posisi sejumlah partai Islam seperti PKS dan PBB, yang selama ini dipandang paling kental warna keislamannya, cukup strategis di pemerintahan baru, karena keduanya adalah penyokong utama SBY-Kalla, yang secara kebetulan berhasil meraih tampuk kepemimpinan nasional melalui Pemilu Presiden dan Wapres lalu.

Idealnya, dengan posisi seperti ini, partai-partai Islam dan tokoh-tokoh Islam, baik di lingkaran legislatif maupun eksekutif, semakin meneguhkan jatidirinya sebagai tokoh dan partai Islam; semakin kencang menyuarakan penegakkan syariat Islam. Sebab, apa artinya tokoh atau partai Islam jika tidak menyuarakan syariat Islam?

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Posisi strategis yang diraih sejumlah tokoh dan partai Islam di legislatif maupun eksekutif malah membuat semakin lemahnya suara-suara mereka dalam menuntut penegakkan syariat Islam dalam negara. Kalau pada Pemilu 1999 lalu suara-suara mereka dalam menuntut penegakkan syariat Islam masih sayup-sayup terdengar, dalam Pemilu 2004 ini hal itu tidak terdengar lagi.

Bahkan ada sinyalemen, keberadaan sejumlah tokoh dan partai Islam di lingkaran legislatif dan eksekutif malah menjadi ’alat pemukul’ penguasa yang efektif untuk menghadapi gerakan-gerakan pro-syariat di luar parlemen dan pemerintahan. Salah satu buktinya, MPR, yang notabene merupakan lembaga tertinggi negara ini, pada awal rapatnya sudah menunjukkan sikap alergi terhadap syariat Islam. Padahal, pejabat tertinggi lembaga ini notabene adalah mantan orang nomor satu salah satu partai Islam yang dianggap lebih kental nuansa keislamannya, dengan jargon ‘bersih dan peduli’. Ironisnya, beliau malah memberikan komentar negatif seputar pengangkatan kembali isu syariat Islam dan pemerintahan Islam. Oleh sebagian kalangan, komentar tersebut dipahami sebagai bentuk dukungan sekaligus ’perlindungan’ bagi rezim pemerintahan baru agar tidak ’diganggu’ oleh isu-isu seputar syariat Islam yang dianggap hanya akan memicu kembali polemik dan menghambat kinerja pemerintah.

Beliau lebih jauh menganjurkan agar seruan tentang pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) dihentikan. Alasannya, “Kita sudah lelah dengan polemik, akan lebih bijak jika berkonsentrasi untuk melaksanakan ajaran agama,” katanya di Gedung MPR-DPR Jakarta.

Pernyataan Ketua MPR itu berkaitan dengan aksi ribuan pengikut Hizbut Tahrir di depan Istana Negara di Jakarta dan tiga kota lainnya: Solo, Semarang, dan Surabaya, Ahad (24/10), yang menuntut diwujudkannya pemerintahan Islam.

Beliau khawatir, polemik tentang pemerintahan Islam hanya akan menyebabkan orang mengabaikan ajaran agama dan korupsi merajalela, dekadensi moral di mana-mana, orang menghabiskan harapan mereka dengan berjudi. “Itu semua tidak dibenarkan agama,” ujarnya. (Eramuslim.com, 25/10/2004).

Logika semacam ini jelas sangat sulit diterima, jika tidak dikatakan ‘ngawur’. Sebab, diabaikannya ajaran agama, merajalelanya korupsi, merebaknya dekandensi moral, dan menyebarnya perjudian yang terjadi selama ini jelas bukan karena masyarakat berpolemik tentang—atau menuntut—pemerintahan Islam. Semua itu terjadi justru karena dipertahankannya sistem pemerintahan sekular dan tidak ditegakkannya sistem pemerintahan Islam yang memberlakukan syariat Islam secara total dalam negara.

Dalam pemerintahan Islam jelas, jika seorang Muslim mengabaikan ajaran agamanya—semisal tidak shalat, enggan berzakat, tidak mau menutup aurat dan berjilbab (bagi wanita) di muka umum, dan sebagainya—maka mereka akan dikenai sanksi tegas oleh negara; koruptor akan dihukum dengan hukuman setimpal sampai hukuman mati; pelaku perzinaan dan pelacuran akan dikenai hukuman cambuk sampai hukum razam; para penjudi dan pemabuk juga akan dihukum berat; demikian seterusnya. Sebaliknya, justru hanya dalam sistem sekular semacam sekarang agama dicampakkan, korupsi dibiarkan merarajela, dekadensi moral tetap dipelihara, perjudian dan pelacuran bahkan dilegalisasi.


Bidang Pemerintahan: dipertahankannya Sekularisme sebagai Asas Negara.

Di bidang pemerintahan, tantangan berat bagi perjuangan penegakkan syarait Islam tentu saja adalah masih akan tetap dipertahankannya sekularisme sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD sekular sebagai sumber konstitusi negara, dan demokrasi sebagai pilar dalam menjaga dan memelihara sekularisme.


Bidang Hukum: Penjungkirbalikan Hukum-hukum Islam.

Yang paling mutakhir tentu saja adalah dibuatnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI). Draft ini disusun dengan empat pendekatan utama, yakni gender, pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi. Hasilnya, draft tersebut merekomendasikkan sejumlah hukum yang kontroversial dan cenderung menjungkirbalikkan hukum Islam, seperti: nikah bukan ibadah, poligami dilarang, nikah kontrak dibolehkan, istri memiliki hak untuk menjatuhkan talak, nikah beda agama boleh, dll.

Sumber Majalah Sabili mengatakan, draft tersebut akan terus digulirkan. Jika melalui Depag gagal, mereka akan membawanya langsung ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di DPR, sudah ada orang-orang yang siap memperjuangkan dan mendukung draft ini menjadi undang-undang, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), yang juga sangat sekular.

Menurut seorang pejabat Depag, untuk menyukseskan program ini, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak 6 miliar rupiah. Kita tahu, The Asia Foundation adalah LSM raksasa yang markas besarnya di San Fransisco. LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia, termasuk Washington, D.C. Tahun 2003 kemarin, The Asia Foundation mengucurkan bantuan sebesar 44 juta USD dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya berkisar mencapai 28 juta USD di seluruh wilayah Asia.

Di Indonesia, keberadaanya sudah ada sejak tahun 1970. Mereka berdiri di balik program-program bernama; training keagamaan, studi jender, HAM dalam Islam, civic education di lembaga-lembaga Islam, pusat pembelaan perempuan untuk Islam (Muslim Women Advocacy), dan isu-isu pluralisme. Semua itu paralalel dengan program-program kalangan Islam Liberal.

Dalam sebuah resensi buku yang berjudul, Asia Foundation is the principal CIA front, dalam salah satu buku seorang jurnalis investigasi majalah Times, Raymond Bonner, yang berjudul, Waltzing with a Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy, diyatakan bahwa, “Asia Foundation adalah bentukan dan kedok CIA.” Ini semakin diperkuat oleh interview Roland G. Simbulan dengan seorang mantan mata-mata CIA yang beroperasi di Filipina pada tahun 1996, dimana ia aktif menggunakan yayasan ini (The Asia Foundation) sebagai agen. Bahkan secara terang-terangan pula diungkapkan dalam laporan tahunan The Asia Foundation, tahun 1985, yang menyebutkan di dalamnya pernyataan Victor Marchetti, salah seorang pimpinan deputi CIA, bahwa, “Asia Foundation didirikan oleh CIA dan sampai 1967 mendapat subsidi darinya.” (Asia Foundation Annual Report, 1985).

Jelas, bahwa LSM The Asia Foundation memang bentukan CIA, yang didirikan sebagai alat dan sarana untuk memperluas serta mempermudah proses imperialisme AS terhadap negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dengan cara non-konfrontatif.


Bidang Sosial-Budaya: Justifikasi Perilaku Sosial-Budaya Sekular.

Contoh kasus adalah pembelaan atas ’goyang ngebor’-nya Inul dan Film Buruan Cium Gue (BCG) oleh kalangan Islam Liberal. Kasus lain adalah justifikasi atas homoseksualitas oleh Majalah Syir’ah. Tepatnya pada edisi 30/Mei/2004, Syir’ah menampilkan dua “very gay article”, masing-masing “Nikah Sejenis atas Nama Cinta” dan “Pemerintah Melarang Cinta Menerjang”. Keduanya menyoroti fenomena matinya jender dalam pernikahan. Dalam No.20/III/Juli 2003, Syir’ah juga menampilkan cover story, ”Gay Muslim Melawan Sunnatullah?” Sebagai laporan utama, bahasan tentang gay Muslim itu memakan 14 halaman, termasuk satu halaman Opini Redaksi yang berjudul, “Gay Tak Selayaknya Disingkirkan”. Intinya, laporan utama tersebut mempertanyakan kembali pandangan yang mengatakan bahwa homoseksualitas tak bisa berdampingan dengan kemusliman.

Kasus lainnya adalah penguatan permissivisme, pemujaan atas hedonisme, pencitraburukkan poligami, penguatan isu kesetaraan jender, dll.


Bidang Ekonomi: Pemaksaan Globalisasi oleh AS.

Globalisasi merupakan jurus lain AS dalam melakukan imperialisme. Ini secara jelas dinyatakan oleh mantan Menlu AS Henry Kissinger yang mengatakan bahwa globalisasi adalah nama lain dari dominasi AS. Demikian pula diungkap Thomas Friedman dalam bukunya, The Lexus and the Olive Tree. Dia mengatakan, globalisasi telah mengarah pada proses penyebaran Amerikanisasi. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel bidang ekonomi 2001, juga mengemukakan bahwa Amerika memang berniat menguasai dunia dengan menjadikan IMF, Bank Dunia, dan WTO sebagai kuda tunggangan.

Indonesia jelas telah masuk ke dalam perangkap globalisasi rancangan AS ini. Salah satunya, Indonesia ke depan disinyalir akan tetap menjamin terjadinya proses liberasi ekonomi yang lebih agresif, termasuk melanjutkan privatisasi BUMN seperti zaman pemerintahan Megawati.


Bidang Hankam: Tekanan AS dalam kasus Terorisme di Indonesia dan Rencana AS Membuka Pangkalan Militer di Selat Malaka.

Peristiwa 11 Setember 2001 jelas menjadi justifikasi bagi Amerika untuk mengukuhkan dirinya sebagai ‘polisi dunia’. Afganistan dihancurkan, Irak diacak-acak dan dijajah, Syuriah dan Iran pun diancam. Bahkan menurut sumber penting petinggi Amerika, ekspedisi militer ala Amerika ini akan berlangsung lama dan mencakup 60 negara dengan slogan, “war against terrorism” (perang terhadap terorisme).

Indonesia jelas menjadi salah satu sasaran bidik AS. Buktinya, AS terus-menerus menekan Indonesia untuk lebih tegas dalam memerangi terorisme. Munculnya sejumlah kasus bom di Tanah Air (yang penuh rekayasa asing) kemudian dijadikan alat oleh AS agar Indonesia lebih serius memberantas kaum teroris.

Di samping itu, ada indikasi kuat, AS tetap berkeinginan untuk menghadirkan pasukannya di Selat Malaka dengan alasan yang dibuat-buat. Tujuan akhirnya adalah agar AS bisa semakin menancapkan hegemoninya di wilayah Asia Tenggara. Dengan itu, AS antara lain bisa lebih leluasa dalam mengontrol berbagai gerakan Islam di wilayah ini, yang berpotensi menjadi ancaman bagi AS. Bahkan ada informasi tidak resmi bahwa Pemerintah AS, menginginkan internasionalisi Selat Malaka dalam jangka waktu 2-3 tahun ke depan.

AS tampaknya juga ingin sekali melihat reformasi terjadi secara prinsipil dalam organisasi TNI, termasuk penghapusan fungsi teritorial TNI dalam beberapa tahun ke depan. Diam-diam, AS juga meminta pemerintah baru di Indonesia membentuk badan baru di bidang intelejen kepolisian (semacam FBI), dengan berintikan anggota Detasemen 88, yang sebelumnya telah dididik FBI untuk penanggulangan terosime global.

Itulah beberapa tantangan yang sedang dan bakal dihadapi dalam konteks perjuangan penegakkan syariat Islam ke depan. Semua ini sejatinya tidak membuat surutnya semangat para pejuang syariat Islam, tetapi justru semakin memacu mereka untuk lebih serius menegakkan syariat Islam. Allahu Akbar!

Tidak ada komentar: